“Kalau boleh tahu, apa yang mendorongmu langsung masuk ke lift? Hanya spontanitas belaka karena mendengar teriakan minta tolong? Atau kamu tahu bahwa aku yang ada di di dalam lift?"
“Yang kedua!”
Ini adalah dialog antara Vienna dan Dave, sesaat setelah terjadi insiden di dalam lift. Sepertinya jawaban itulah yang kemudian dijadikan sebagai judul novel ini: Yang Kedua.
Vienna dan Dave bertemu dalam sebuah festival menyanyi berskala provinsi, di kota Batam. Setelah menyabet juara I (Dave) dan II (Vienna), mereka diminta ikut Festival Song Couple di Singapura. Bermula dari sini, hubungan mereka semakin dekat. Apalagi setelah akhirnya mereka dikontrak untuk menjadi penyanyi duet. Promo demi promo untuk lagu mereka, menjadi percik air yang menyegarkan hubungan keduanya. Begitupun, Vienna, harus bertahan sekuat tenaga menepis perasaannya yang terus tumbuh seiring perhatian tulus Dave padanya. Vienna sudah memiliki ikatan yang tak mungkin diabaikan apalagi diputus begitu saja demi seorang Dave, seberapapun menawannya dia. Ada Haris di ujung sana. Lelaki yang telah mengubah statusnya menjadi istri sejak 5 tahun yang lalu.
Tapi, jika Haris hanya memanfaatkan jerih payahnya dan menganggapnya sebagai sapi perah, haruskah dia melepaskannya, meninggalkannya, atau bertahan dalam kesucian dan kesakralan sebuah institusi bernama pernikahan?
Poligami, menjadi tema yang sering mengemuka sejak seorang publik figur--Aa Gym—melakukannya beberapa tahun yang lalu. Berbagai pendapat muncul, baik yang kontra, mendukung penuh, tapi banyak juga yang mendukung tapi menyimpan kekhawatiran dahsyat dalam hati.
Inilah yang pertama kali saya kira ingin diceritakan dalam novel Yang Kedua milik Riawani Elyta. Itulah mengapa saya lama memutuskan untuk membawanya ke kasir ketika jalan-jalan ke toko buku.
Ternyata perkiraan saya meleset! Ide novel ini lahir justru dari kasus KDRT –seperti yang saya intip dari blog pribadi penulis. Selama ini KDRT mungkin lebih dipersepsikan kekerasan dalam bentuk fisik (pukulan, tamparan, pun caci maki). Tetapi apa yang dilakukan Haris terhadap Vienna bisa termasuk dalam kasus KDRT. Menjadikan istri sebagai tulang punggung keluarga, mengganti peran suami sebagai pencari nafkah utama.
Fenomena seperti ini tidak sedikit, bahkan di lingkungan saya yang notabene memahami bahwa suamilah yang berkewajiban mencari nafkah. Alih-alih ingin menjalankan perannya, saya beberapa kali mendengar para pria memilih gadis yang sudah mapan (dalam arti sudah memiliki pekerjaan tetap), kalau perlu yang sudah menjadi PNS untuk menjadi istrinya. Menurut saya mereka bukan tipe pria gentleman! Tak masalah sebenarnya, jika si istri ikhlas dan hanya menambal kekurangan suami (dan hanya sementara). Pengecualian pada kasus tertentu, misalnya suami sakit parah atau cacat seumur hidup.
Kembali ke Yang Kedua, Haris yang bekerja di perusahaan asuransi dengan penghasilan tak seberapa (tergantung seberapa banyak nasabah yang berhasil ia gaet), terlalu memanfaatkan bahkan cenderung menekan Vienna untuk terus menerima job demi job menyanyi. Bahkan ketika Vienna sakit karena kelelahan dan stress, Haris seakan tak peduli. Dengan enteng dia mengirim sms-sms yang memberitahu bahwa hari ini ia menarik uang sekian puluh juta untuk membeli meubelier, hari berikutnya lagi untuk tagihan angsuran mobil, berikutnya lagi … dan lagi …. *Pingin nonjok Haris*
Kembali ke Yang Kedua, Haris yang bekerja di perusahaan asuransi dengan penghasilan tak seberapa (tergantung seberapa banyak nasabah yang berhasil ia gaet), terlalu memanfaatkan bahkan cenderung menekan Vienna untuk terus menerima job demi job menyanyi. Bahkan ketika Vienna sakit karena kelelahan dan stress, Haris seakan tak peduli. Dengan enteng dia mengirim sms-sms yang memberitahu bahwa hari ini ia menarik uang sekian puluh juta untuk membeli meubelier, hari berikutnya lagi untuk tagihan angsuran mobil, berikutnya lagi … dan lagi …. *Pingin nonjok Haris*
Lalu jika kemudian ada Dave yang selalu siap menjadi dewa penolong, bagaimana Vienna harus tetap mempertahankan Haris di hatinya?
Tema KDRT memang bukan hal baru dalam novel, tetapi masing-masing penulis memiliki sudut pandang yang menarik untuk terus diikuti.
Gaya bahasa khas Riawani Elyta dengan narasinya yang panjang dan minim dialog.
Tokoh Vienna mengingatkan saya pada karakter Icha dalam novel sebelumnya Hati Memilih. Sama-sama pendiam, bersahaja, bermata bulat, dan langsing. Khusus kata langsing, sepertinya semua tokoh perempuan Riawani Elyta selalu memiliki proporsi tubuh seperti itu. J
Kali ini entah mengapa, Dave tidak berhasil membuat saya jatuh cinta. Bukan berarti buruk, justru menurut saya Dave terlalu sempurna: tampan, kaya, bersuara bagus, ciamik memainkan piano, juga baik, dan tidak gampang tergoda oleh perempuan cantik. *Tidak menantang untuk ditaklukkan hatinya … jiaaahhhh!
Padahal sejak Dave bertemu Vienna di toilet –dan Vienna salah masuk ke toilet pria--dan dengan iseng Dave menjawab, “Never mind. Saya juga tercipta … untuk perempuan, bukan?” saya berharap akan menemukan Dave yang iseng, seenaknya, sedikit konyol, atau sombong jutek tapi baik hati hingga akhir.
Atau mungkin karakter Dave akan lebih kuat jika ada scene Dave dikerubuti fans cewek atau ada sedikit insiden antara Vienna dan salah satu cewek yang jatuh cinta berat pada Dave, misalnya. IMHO.
Atau mungkin karakter Dave akan lebih kuat jika ada scene Dave dikerubuti fans cewek atau ada sedikit insiden antara Vienna dan salah satu cewek yang jatuh cinta berat pada Dave, misalnya. IMHO.
Meskipun begitu, saya terharu dan terenyak juga saat mengetahui keputusan Dave di akhir cerita. Dan saya suka karena Riawani tak membuat Dave menjadi tokoh yang terjebak dalam cinta butanya, tetapi terus merenung dan berpikir tentang berbagai kemungkinan juga konflik yang bakal timbul, hingga akhirnya menemukan makna cinta sejati setelah menemui Paman Goh Kee. So touching!
Hei … tentang Paman Goh Kee, apakah itu real atau karangan saja? Jika real, aku ingin juga bertemu dengannya.
Beberapa hal yang menurut saya masih perlu dijelaskan, misalnya:
1. Tentang Vienna yang terasa begitu mudah mendapatkan posisi juara dan lagu duet mereka booming. Memang Vienna punya bakat menyanyi, tetapi seperti yang sering saya tonton dalam ajang Indonesia Idol, sebut saja Yodha. Secara bakat dan materi vokal, ia sudah memegangnya. Tetapi ternyata karena tehnik bernyanyi Yodha kurang baik, saya sebagai orang awam pun bisa melihat kelemahannya. Begitupun dengan peserta lain, ternyata mereka tak "ujug-ujug" nangkring di posisi 20 besar.
Sedikit penjelasan tentang usaha Vienna mungkin bisa mengembalikan kernyitan heran di dahi saya *peace Dek Ria
2. Tentang CV yang didirikan Haris, saya tidak berhasil menemukan jawaban--meski berulang saya baca--jenis usaha apa yang ia geluti, dengan adanya mesin cetak. Apakah penerbitan, percetakan, atau tetap tidak jauh dari profesi lamanya sebagai agen asuransi?
Hanya sedikit TYPO, tetapi tak lengkap rasanya kalau tak menyertakan dalam review saya, terutama karena saya sendiri sangat menyukai profesi proof reader:
hal. 108: “ …. Dia nggak bisa bahasa Inggris, meski hanya Singlish tempatan…” (maksudnya?)
hal.125: “Aku nggak tahu apa (yang) akan terjadi kalau kamu nggak ada di sana.”
hal. 141-142: bukankah tidak ada sesuatu yang tidak ada sesuatu yang mengancam …
Secara keseluruhan saya cukup menikmati novel ini, meskipun harus memakan waktu dua hari, karena ada prioritas bacaan yang harus segera saya selesaikan. Maklum Ramadhan ;)
Well … well … pembaca yang suka novel bernuansa tenang, santun, lembut-romantis, dan “religius”, Yang Kedua ini bisa jadi pilihan.
NB. Untuk penulisnya:
“Sssttt … apa kabarnya Zoch dan Opera Rumah Singgah? Kapan-kapan bikin tokoh seperti dia, asyik kayaknya.” ;)
Judul: Yang Kedua
Penulis: Riawani Elyta
Editor:Widyawati Oktavia
Proofreader: Dewi Fita
Desainer Sampul: Danish
Penata Letak: Gigitz
Penerbit: Bukune
Cet: ke-2 Juni2012
Komentar
Posting Komentar